
YANDRA ARKEMAN, Profesor dan Peneliti di BRAIN (Blockchain, Robotics and Artificial Intelligence Networks), IPB University
MUHAMMAD AQIL IRHAM, Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), Kementerian Agama Republik Indonesia
VERRY SURYA HENDRAWAN, Mahasiswa Doktoral Teknik Industri Pertanian, IPB University
Di akhir 2022 lalu Pemerintah Indonesia menyelenggarakan Forum H20 (Halal 20) untuk meneruskan momentum pagelaran besar G20. Forum H20 yang diinisiasi oleh BPJPH (Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal) ini dihadiri oleh perwakilan negara-negara G20, plus berbagai negara sahabat yang memiliki kepentingan terhadap perkembangan industri halal dunia. Wakil Presiden Republik Indonesia dalam sambutan pembukaannya menyampaikan bahwa konsumsi produk halal dunia tahun 2021 menembus 2 triliun dolar AS. Bahkan, pada 2025 diproyeksikan mencapai 2,8 triliun dolar AS.
Salah satu hal yang dibahas di forum H20 dan perlu kita pikirkan lebih lanjut di awal tahun 2023 ini adalah bagaimana cara untuk mewujudkan cita-cita Indonesia menjadi Pusat Industri Halal Dunia. Salah satu kuncinya adalah kita harus mempunyai suatu sistem informasi terintegrasi dan sertifikasi halal nasional yang canggih sehingga dapat memenuhi target percepatan penerbitan sertifikat halal, baik untuk UMK maupun untuk usaha menengah dan besar.
Target ini sangat menantang. Dengan demikian, kita tidak lagi hanya dapat mengandalkan sistem sertifikasi halal yang manual atau semi-otomatis. Kita harus segera hijrah atau bertransformasi ke sistem sertifikasi halal otomatis berbasis teknologi digital maju dan terkini seperti Artificial Intelligence (AI), Big Data Analytic dan Distributed Ledger Techology (DLT) atau yang lebih dikenal dengan nama Blockchain.
Dasar hukum sertifikasi halal
Berdasarkan UU nomer 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, serta PP nomer 39 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal, maka mulai 17 Oktober 2024 terdapat tiga kategori produk yang beredar di pasar nasional wajib bersertifikasi halal. Pertama adalah produk makanan dan minuman. Kedua adalah bahan baku, bahan tambahan pangan, dan bahan penolong untuk produk makanan dan minuman. Ketiga adalah produk hasil sembelihan dan jasa penyembelihan.
Jika belum memiliki sertifikat halal maka pelaku usaha dapat terkena sanksi yang berupa peringatan tertulis, denda administratif, hingga penarikan barang dari peredaran. Lebih jauh lagi, tanpa sertifikat halal maka produk-roduk tersebut juga tidak akan dapat diekspor ke negara tujuan yang mensyaratkan adanya sertifikat halal.
Permasalahan
Ironisnya, jumlah produk bersertifikat halal di Indonesia masih sangatlah rendah. Total tercatat hingga akhir tahun 2022, tercatat kurang dari 1.5 juta produk yang telah bersertifikat halal. Padahal, terdapat 64 juta UMKM dengan jutaan produk yang telah terdaftar dan perlu untuk disertifikasi. Hal ini berarti, bila menggunakan laju pengeluaran sertifikat saat ini, maka diperlukan waktu yang lama untuk menyelesaikannya. Berdasarkan pertemuan dengan berbagai negara di Forum H20 lalu, permasalahan lamanya waktu dan panjangnya proses sertifikasi juga dihadapi oleh berbagai negara lain. Ini dapat menjadi kesempatan yang baik untuk Indonesia agar berinisiatif memberikan solusi terbaik menghadapi tantangan ini yaitu dengan melakukan digitalisasi sertifikasi halal menggunakan teknologi digital maju dan terkini yang dapat digunakan untuk kepentingan nasional, regional ataupun global.
Penggunaan AI.
Teknologi Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan pada hakekatnya adalah program komputer yang dibuat dengan berbagai algoritma tertentu untuk meniru kecerdasan manusia dalam membuat keputusan yang rumit. Beberapa algoritma dan metoda yang banyak digunakan saat ini adalah Deep Learning (DL), Fuzzy Logic (FL), Genetic Algorithms (GA) dan Natural Language Processing (NLP).
Sebagai informasi, berbagai jenis robot dan mesin cerdas sudah banyak digunakan dengan sukses di berbagai bidang kehidupan, seperti pangan, kesehatan, transportasi, pemerintahan, militer, hukum dan kepolisian. Salah satu teknologi AI yang saat ini sedang banyak diperbincangkan (viral) adalah ChatGPT©️ yang baru saja diluncurkan beberapa bulan lalu. Software yang menggunakan teknik Natural Language Processing (NLP) ini mampu berdialog secara alami (humanis) dengan manusia untuk menjawab berbagai pertanyaan yang sulit dalam berbagai bahasa.
Salah satu cara untuk mempercepat proses pembuatan dan penerbitan sertifkat halal adalah dengan menerapkan AI dalam sistem informasi dan sertifikasi halal yang kita miliki. AI akan menjadi mesin pintar yang bisa membantu atau menggantikan berbagai kegiatan yang selama ini masih dilakukan secara manual.
Sebagai contoh, selama periode April s/d Desember 2022, BPJPH telah berkolaborasi dengan grup riset BRAIN di IPB University untuk melakukan otomatisasi dan digitalisasi proses sertifikasi halal. Sebagai hasilnya kolaborasi ini telah sukses menerapkan machine learning untuk diantaranya: (1) mempercepat proses kurasi dan sortasi data bahan atau produk yang akan disertifikasi, (2) input data pelaku usaha, dan (3) verifikasi-validasi pendamping yang telah dikodifikasi by system. Telah terbukti bahwa pada tahun 2022 saja, sebanyak 673,164 sertifikat halal produk telah diterbitkan (bandingkan dengan periode tahun sebelumnya, 2012 s/d 2018 yang “hanya” menerbitkan sebanyak 668,615 sertifikat halal produk). Ini berarti terjadi peningkatan lebih dari 600%!
Pencapaian diatas tentu saja didukung oleh capaian BPJPH di lapangan, diantaranya: pendirian LPH (Lembaga Pemeriksa Halal) pada tahun 2022 sebanyak 42 (bandingkan dengan periode sebelumnya yang berjumlah 3 LPH yang dipertahankan di tahun-tahun sebelumnya). Juga dengan penyiapan Tenaga Pendamping sebanyak 50,255 yang siap mendukung akselerasi program 1 juta sertifikasi halal pada tahun 2023 ini (dengan target sebanyak 2,5 sampai 3 juta produk bersertifikasi halal).
Dan dalam waktu dekat, apabila machine learning seperti ini juga bisa diterapkan pada fungsi-fungsi lainnya di dalam Sistem SiHalal BPJPH, maka laju penerbitan sertifikat halal dapat dipastikan meningkat lebih tajam. Hal ini tentu juga sangat mendukung target BPJPH untuk memberikan pelayanan yang Mudah, Murah, Cepat dan Profesional.
Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Ciptaker yang ditandatangani oleh Presiden 30 Desember 2022 juga memuat ketentuan untuk mengakselerasi proses sertifikasi halal produk. Program self-declare untuk UMK dipersingkat dari 21 hari menjadi 12 hari saja Dengan dukungan dari berbagai pihak direncanakan bahwa dalam waktu dekat berbagai proses dalam sertifikasi akan diotomatisasi dengan teknologi AI. Artinya, tidak ada lagi proses yang dilaksanakan secara manual. Digitalisasi ini akan menjangkau keseluruhan rangkaian proses, baik di BPJPH, Komite Fatwa ataupun Komisi Fatwa.
Khusus untuk Komite Fatwa dan Komisi Fatwa, penerapan AI bukanlah ditujukan untuk menggantikan peran ulama. Namun justru sebaliknya, untuk memudahkan ulama dalam membuat fatwa dan menghilangkan resiko kesalahan sebagai akibat dari faktor kelelahan dan kejenuhan. Proses digitalisasi fatwa ini akan dimulai dari knowledge transfer dari para ulama ke pengembang software, untuk kemudian hasilnya akan “ditanamkan” ke komputer dalam bentuk algoritma dan program. Keputusan akhir dalam Sidang Fatwa tetaplah menjadi otoritas para ulama.
Penggunaan Blockchain
Forum H20 lalu juga telah menghasilkan rancangan kesepakatan bersama yang salah satu butirnya menyebutkan “Berkomitmen untuk mendorong lahirnya platform halal global berbasis teknologi digital canggih yang transparan, terpercaya dan dapat dilacak sebagai wadah atau common-hub bagi banyak platform halal di berbagai negara”. Ini adalah peluang untuk menerapkan teknologi digital cerdas lainnya yaitu blockchain. Teknologi blockchain yang bersifat 3T (traceable, trusted dan transparent) dapat menerbitkan sertifikat halal yang tidak dapat dipalsukan. Keunggulan lain: proses sertifikasi dapat diakses oleh semua stakeholder (transparent), serta memiliki ketertelusuran (traceability) yang tinggi.
Peluang Indonesia sebagai Pusat Industri Halal Dunia
Peta jalan telah disusun dan kesempatan Indonesia untuk menjadi pelopor dalam membangun platform halal global sangat terbuka luas. Dengan menjadi pelopor sistem halal berbasis AI dan blockchain ini, maka Indonesia dapat menjadi rujukan utama negara-negara di seluruh dunia dalam digitalisasi industri halal. Tentu saja ini sepenuhnya akan mendukung visi besar pemerintah untuk menjadikan Indonesia sebagai Pusat Industri Halal Dunia.(*)